Jumat, 25 Mei 2012

Jenis Program Pelayanan Konseling

Jenis Program.
Program pelayanan konseling yang perlu dibuat oleh guru pembimbing guna merencanakan kegiatan bimbingan antara lain
1. Program harian, yaitu program yang langsung diadakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu.
2. Program mingguan, yaitu program yang akan dilaksanakan secara penuh untuk kurun waktu satu minggu tertentu dalam satu bulan.
3. Program buianan, yaitu program yang akan dilaksanakan secara penuh untuk kurun waktu satu bulan tertentu dalam satu semester.
4. Program semester, yaitu program yang akan dilaksanakan secara penuh
untuk kurun waktu satu semester tertentu dalam satu tahun ajaran.
5. Program  Tahunan, yaitu program yang akan dilaksanakan secara penuh
untuk kurun waktu satu tahun tertentu dalam satu jenjang sekolah.
Kelima jenis program tersebut satu sama lain saling terkait. Program tahunan didalamnya me!iputi program semester, program semester didalamnya meliputi program bulanan, program bulanan didalam meliputi agenda mingguan, dan agenda mingguan didalamnya meliputi agenda harian. Agenda harian ini merupakan jabaran dari agenda mingguan guru pembimbing pada kelas yang diasuhnya. Agenda ini dibuat secara tertulis pada buku agenda yang berupa satuan Iayanan dan atau satuan penduk.ung (RPP)

Pola 17 Plus

LAHIRNYA BK POLA 17 PLUS

            Sejak tahun 1993 penyelenggaraan pelayanan Bimbingan dan Konseling (BK) memperoleh perbendaharaan istilah baru yaitu BK Pola-17. Hal ini memberi  warna tersendiri bagi arah bidang, jenis layanan dan kegiatan pendukung BK di  jajaran pendidikan dasar dan menengah. Pada Abad ke-21, BK Pola 17 itu  berkembang menjadi BK Pola-17 Plus. Kegiatan BK ini mengacu pada sasaran  pelayanan yang lebih luas, diantaranya mencakup semua masyarakat.
            Layanan konsultasi merupakan salah satu jenis layanan dari BK Pola-17  Plus. Layanan konsultasi dan layanan mediasi merupakan layanan hasil  pengembangan dari BK Pola 17 Plus. Dengan adanya pengembangan layanan ini, maka layanan konsultasi dan layanan mediasi secara otomatis menjadi bidang tugas konselor dalam pelayanan Bimbingan dan Konseling, khususnya pelayanan BK di sekolah.
            Menurut Prayitno (2004: i-ii) butir-butir pokok BK Pola-17 Plus adalah sebagai berikut:
A. Keterpaduan mantap tentang pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan  asas, serta landasan BK
B. Bidang Pelayanan BK, meliputi:
B.1. Bidang pengembangan pribadi
B.2. Bidang pengembangan social
B.3. Bidang pengembangan kegiatan belajar
B.4. Bidang pengembangan karir
B.5. Bidang pengembangan kehidupan berkarya
B.6. Bidang pengembangan kehidupan keberagamaan

C. Jenis layanan BK, meliputi:
L.1. Layanan Orientasi
L.2. Layanan Informasi
L.3. Layanan Penempatan dan Penyaluran
L.4. Layanan Penguasaan Konten
L.5. Layanan Konseling Perorangan
L.6. Layanan Bimbingan Kelompok
L.7. Layanan Konseling Kelompok
L.8. Layanan Konsultasi
L.9. Layanan Mediasi

D. Kegiatan pendukung BK, meliputi:
P.1. Aplikasi Instrumentasi
P.2. Himpunan Data
P.3. Konferensi Kasus
P.4. Kunjungan Rumah
P.5. Alih Tangan Kasus

E. Format pelayanan:
 1. Format Individual
 2. Format Kelompok
 3. Format Klasikal
 4. Format Lapangan
 5. Format ”Politik

            Selain itu ada juga yang menambahkan pola 17 plus adalah sebagai berikut:
BK Pola 17 Plus
·         Bidang:  Pribadi, Sosial, Belajar, Karir, Kehidupan keluarga, Kehidupan beragama
·         7 jenis layanan: Orientasi, Informasi, Pencapaian penyaluran, Penguasaan konten, Konseling kelompok, Bimbingan kelompok, Konseling individual, Konsultasi, Mediasi
·         Daya dukung: Instrumen, Himpunan data, Tampilan kepustakaan, Referal / Alih Tangan, Home Visit, Konfrensi kasus

            Melihat uraian tentang BK Pola-17 Plus, pada penelitian ini hanya membatasi sesuai dengan judul penelitian. Peneliti hanya menguraikan salah satu jenis layanan BK yaitu layanan konsultasi.

Layanan Konsultasi BK
            Menurut Prayitno (2004: 1), ”layanan konsultasi adalah layanan konseling  oleh konselor terhadap pelanggan (konsulti) yang memungkinkan konsulti memperoleh wawasan, pemahaman dan cara yang perlu dilaksanakan untuk menangani masalah pihak ketiga”. Konsultasi pada dasarnya dilaksanakan secara perorangan dalam format tatap muka antara konselor (sebagai konsultan) dengan  konsulti. Konsultasi dapat juga dilakukan terhadap dua orang konsulti atau lebih kalau konsulti- konsulti itu menghendakinya.
            Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 6) dijelaskan bahwa ”layanan konsultasi yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik”.
Dalam program bimbingan di sekolah, Brow dkk (dalam Marsudi, 2003: 124) menegaskan bahwa ’konsultasi itu bukan konseling atau psikoterapi sebab konsultasi tidak merupakan layanan yang langsung ditujukan kepada siswa (klien), tetapi secara tidak langsung melayani siswa melalui bantuan yang diberikan oleh orang lain’.
Layanan konsultasi juga didefinisikan bantuan dari konselor ke klien dimana  konselor sebagai konsultan dan klien sebagai konsulti, membahas tentang masalah pihak ketiga. Pihak ketiga yang dibicarakan adalah orang yang merasa dipertanggungjawabkan konsulti, misalnya anak, murid atau orangtuanya. Bantuan yang diberikan untuk memandirikan konsulti sehingga ia mampu menghadapi pihak ketiga yang dipermasalahkannya (http://konseling indonesia.com).
            Dari beberapa pengertian, dapat disimpulkan penulis bahwa layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor sebagai konsultan kepada konsulti dengan tujuan memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan konsulti dalam rangka membantu terselesaikannya masalah yang dialami pihak ketiga (konseli yang bermasalah). Pada layanan konsultasi, dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap konsultasi yang dilakukan oleh konselor  kepada konsulti, dan tahap penanganan yang dilakukan oleh konsulti kepada konseli/pihak ketiga. Maka petugas pada tahap konsultasi adalah konselor, sedangkan petugas pada tahap penanganan adalah konsulti.

 Komponen Layanan Konsultasi BK
            Dari definisi layanan konsultasi, dijelaskan bahwa dalam proses konsultasi akan melibatkan tiga pihak, yaitu konselor, konsulti, dan pihak ketiga/konseli. Hal ini seperti pendapat Dougherty (dalam Sciarra, 2004: 55) ’consulting is tripartite: it involves a consultant, a consultee, and a client’ (Berkonsultasi meliputi tiga pihak yaitu melibatkan seorang konsultan, konsulti, dan konseli). Ketiga pihak ini disebut sebagai komponen layanan konsultasi. Ketiga komponen layanan konsultasi tersebut menjadi syarat untuk menyelenggarakan kegiatan layanan. Dijelaskan oleh Prayitno (2004: 3-4), bahwa: Konselor adalah tenaga ahli konseling yang memiliki kewenangan melakukan pelayanan konseling pada bidang tugas pekerjaannya. Sesuai dengan keahliannya, konselor melakukan berbagai jenis layanan konseling, salah satu diantaranya adalah layanan konsultasi; Konsulti adalah individu yang meminta bantuan kepada konselor agar dirinya mampu menangani kondisi dan atau permasalahan pihak ketiga yang (setidak-tidaknya sebahagian) menjadi tanggung jawabnya. Bantuan itu diminta dari konselor karena konsulti belum mampu menangani situasi dan atau permasalahan pihak ketiga itu; Pihak ketiga adalah individu (atau individu-individu) yang kondisi dan atau permasalahannya dipersoalkan oleh konsulti. Menurut konsulti, kondisi/ permasalahan pihak ketiga itu perlu diatasi, dan konsulti merasa (setidak-tidaknya ikut) bertanggung jawab atas pengentasannya.
            Marsudi (2003: 124-125) menyebutkan bahwa layanan konsultasi mengandung beberapa aspek, yaitu:
(1) Konsultan, yaitu seseorang yang secara profesional mempunyai kewenangan untuk memberikan bantuan kepada konsulti dalam upaya mengatasi masalah klien.
(2) Konsulti, yaitu pribadi atau seorang profesional yang secara langsung memberikan bantuan pemecahan masalah terhadap klien.
(3) Klien, yaitu pribadi atau organisasi tertentu yang mempunyai
masalah.
(4) Konsultasi merupakan proses pemberian bantuan dalam upaya
mengatasi masalah klien secara tidak langsung.
            Dalam layanan konsultasi ini dapat diperjelas bahwa penanganan masalah yang dialami konseli (pihak ketiga) dilakukan oleh konsulti. Konsulti akan dikembangkan kemampuannya oleh konselor pada saat tahap konsultasi berlangsung, yaitu mengembangkan pada diri konsulti tentang wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Akhir proses konsultasi ini adalah konselor menganggap bahwa konsulti mampu membantu menangani kondisi atau permasalahan pihak ketiga yang setidaknya menjadi tanggung jawabnya.
            Konsulti adalah orang yang ikut bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami pihak ketiga. Misalnya orang tua, guru, kepala sekolah, kakak, dan sebagainya. Seorang konsulti harus bersedia membantu penyelesaian masalah pihak ketiga. Menurut Sciarra (2004: 55) “
also, collaboration between consultant and consultee is especially important in the school setting because it eases the burden on the consultant” (kerjasama antara konsultan dan konsulti menjadi yang terpenting di sekolah sebab dapat meringankan beban konsultan).

Pola BK 17 Plus

SEJARAH BIMBINGAN DAN KONSELING DAN LAHIRNYA BK 17 PLUS
Pendahuluan
Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.

Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.
Pra Lahirnya Pola 17
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala diantaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja.
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Belum adanya hukum
Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya.
2. Semangat luar biasa untuk melaksanakan
BP di sekolahLahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah.
3. Belum ada aturan main yang jelas
Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga ketika orang tua dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa dengan anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya. Selain itu dengan pola yang tidak jelas tersebut mengakibatkan:
  1. Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya.
  2. Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam kelas-kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.
  3. Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tidak memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau rok.
  4. Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di sekolahnya,
  5. Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling.Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia.
Lahirnya Pola 17
SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya terdapat hal-hal yang substansial, khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling adalah : 1. Istilah “bimbingan dan penyuluhan” secara resmi diganti menjadi “bimbingan dan konseling.” 2. Pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah adalah guru pembimbing, yaitu guru yang secara khusus ditugasi untuk itu. Dengan demikian bimbingan dan konseling tidak dilaksanakan oleh semua guru atau sembarang guru. 3. Guru yang diangkat atau ditugasi untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling adalah mereka yang berkemampuan melaksanakan kegiatan tersebut; minimum mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam. 4. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan pola yang jelas : a. Pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas-asasnya. b. Bidang bimbingan : bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir c. Jenis layanan : layanan orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok.d. Kegiatan pendukung : instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah dan alih tangan kasus. Unsur-unsur di atas (nomor 4) membentuk apa yang kemudian disebut “BK Pola-17” 5. Setiap kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui tahap :a. Perencanaan kegiatanb. Pelaksanaan kegiatanc. Penilaian hasil kegiatand. Analisis hasil penilaiane. Tindak lanjut6. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan di dalam dan di luar jam kerja sekolah. Hal-hal yang substansial di atas diharapkan dapat mengubah kondisi tidak jelas yang sudah lama berlangsung sebelumnya. Langkah konkrit diupayakan seperti :1. Pengangkatan guru pembimbing yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling.2. Penataran guru-guru pembimbing tingkat nasional, regional dan lokal mulai dilaksanakan.3. Penyususnan pedoman kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti :a. Buku teks bimbingan dan konselingb. Buku panduan pelaksanaan menyeluruh bimbingan dan konseling di sekolahc. Panduan penyusunan program bimbingan dan konselingd. Panduan penilaian hasil layanan bimbingan dan konselinge. Panduan pengelolaan bimbingan dan konseling di sekolah4. Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling5. Penyusunan pedoman Musyawarah Guru Pembimbing (MGP) Dengan SK Mendikbud No 025/1995 khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling sekarang menjadi jelas : istilah yang digunakan bimbingan dan konseling, pelaksananya guru pembimbing atau guru yang sudah mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam, kegiatannya dengan BK Pola-17, pelaksanaan kegiatan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian, analisis penilaian dan tindak lanjut. Pelaksanaan kegiatan bisa di dalam dan luar jam kerja. Peningkatan profesionalisme guru pembimbing melalui Musyawarah Guru Pembimbing, dan guru pembimbing juga bisa mendapatkan buku teks dan buku panduan.

Bagan Pola 17 Plus Bimbingan dan Konseling

http://ilmupsikologi.files.wordpress.com/2010/02/bagan-pola-17-untuk-ceria.jpg

Sabtu, 12 Mei 2012

KODE ETIK PROFESI KONSELOR INDONESIA

KODE ETIK PROFESI KONSELOR INDONESIA
(ASOSIASI BIMBINGAN KONSELING INDONESIA)


PENDAHULUAN

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) adalah suatu organisasi profesi yang beranggotakan guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan kualifikasi pendidikan akademik strata satu (S-1) dari Program Studi Bimbingan dan Konseling dan Program Pendidikan Konselor (PPK). Kualifikasi yang dimiliki konselor adalah kemampuan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling dalam ranah layanan pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir bagi seluruh konseli.
Konselor profesional memberikan layanan berupa pendampingan (advokasi) pengkoordinasian, mengkolaborasi dan memberikan layanan konsultasi yang dapat menciptakan peluang yang setara dalam meraih kesempatan dan kesuksesan bagi konseli berdasarkan prinsip-prinsip pokok profesionalitas:

1.    Setiap individu memiliki hak untuk dihargai, diperlakukan dengan hormat dan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh layanan bimbingan dan konseling. Konselor memberikan pendampingan bagi individu dari berbagai latar belakang kehidupan yang beragam dalam budaya; etnis, agama dan keyakinan; usia; status sosial dan ekonomi; individu dengan kebutuhan khusus; individu yang mengalami kendala bahasa; dan identitas gender.
2.    Setiap individu berhak memperoleh informasi yang mendukung kebutuhannya untuk mengembangkan dirinya.
3.    Setiap individu mempunyai hak untuk memahami arti penting dari pilihan hidup dan bagaimana pilihan tersebut akan mempengaruhi masa depannya.
4.    Setiap individu memiliki hak untuk dijaga kerahasiaan pribadinya sesuai dengan aturan hukum, kebijakan, dan standar etika layanan.
Kode etik Profesi Konselor Indonesia memiliki lima tujuan, yaitu:
1.    Melindungi konselor yang menjadi anggota asosiasi dan konseli sebagai penerima layanan.
2.    Mendukung misi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
3.    Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang memberikan panduan perilaku yang etis bagi konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling.
4.    Kode etik membantu konselor dalam membangun kegiatan layanan yang profesional.
5.    Kode etik menjadi landasan dalam menghadapi dan menyelesaikan keluhan serta permasalahan yang  datang dari anggota asosiasi.
A. Pengertian
Etika adalah suatu sistem prinsip moral, etika suatu budaya. Aturan tentang tindakan yang dianut berkenaan dengan perilaku suatu kelas manusia, kelompok, atau budaya tertentu.
Etika Profesi Bimbingan dan Konseling adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya  memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada konseli. Kaidah-kaidah perilaku yang dimaksud adalah:
1.    Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan sebagai manusia; dan mendapatkan layanan konseling tanpa melihat suku bangsa, agama, atau budaya.
2.    Setiap orang/individu memiliki hak untuk mengembangkan dan mengarahkan diri.
3.    Setiap orang memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambilnya.
4.    Setiap konselor membantu perkembangan setiap konseli, melalui layanan bimbingan dan konseling secara profesional.
5.    Hubungan konselor-konseli sebagai hubungan yang membantu yang didasarkan kepada kode etik (etika profesi).  

Kode Etik adalah seperangkat standar, peraturan, pedoman, dan nilai yang mengatur mengarahkan perbuatan atau tindakan dalam suatu perusahaan, profesi, atau organisasi bagi para pekerja atau anggotanya, dan interaksi antara para pekerja atau anggota dengan masyarakat.
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia wsajib dipatuhi dan diamalkan oleh pengurus dan anggota organisasi tingkat nasional , propinsi, dan kebupaten/kota (Anggaran Rumah Tangga ABKIN, Bab II, Pasal 2)
B.     Dasar Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
1.    Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
3.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28 ayat 1, 2 dan 3 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan)
4.    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
5.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
BAB I
KUALIFIKASI, KOMPETENSI DAN KEGIATAN PROFESIONAL KONSELOR

A. Kualifikasi
1. Sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling.
2. Berpendidikan profesi konselor (PPK).

B. Kompetensi
Sosok utuh kompetensi konselor  terdiri atas dua komponen yang berbeda namun terintegrasi dalam praksis sehingga tidak bisa dipisahkan yaitu kompetensi akademik dan kompetensi profesional. Kompetensi tersebut dijabarkan seperti tertera pada gambar berikut.

1.     MEMAHAMI SECARA MENDALAM KONSELI YANG HENDAK DILAYANI
1.     Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks kemaslahatan umum
2.     Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku  konseli 

2.     MENGUASAI LANDASAN TEORETIK BIMBINGAN DAN KONSELING
1.    Menguasai teori dan praksis pendidikan
2.    Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang, satuan pendidikan
3.    Menguasai konsep dan praksis penelitian  dalam bimbingan dan konseling
4.    Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling

3.     MENYELENGGARAKAN BIMBINGAN DAN KONSELING  YANG MEMANDIRIKAN
1.    Merancang program Bimbingan dan Konseling
2.    Mengimplementasikan program  Bimbingan dan Konseling yang komprehensif
3.    Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling.
4.    Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli

4.     MENGEMBANGKAN PRIBADI DAN PROFESIONALITAS SECARA BERKELANJUTAN
1.    Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2.    Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat
3.    Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional
4.    Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja
5.    Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling
6.     Mengimplementasikan kolaborasi antarprofesi

C. KEGIATAN PROFESIONAL KONSELOR
1.    INFORMASI, TESTING DAN RISET    
a.      Penyimpanan dan penggunaan Informasi
1)      Catatan tentang diri konselispt; wawancara, testing, surat-menyurat, rekaman dan data lain merupakan informasi yg bersifat rahasia dan hanya boleh dipergunakan untuk kepentingan konseli.
2)      Penggunaan data/informasi dimungkinkan untuk keperluan riset atau pendidikan calon konselor sepanjang identitas konselidirahasiakan.
3)      Penyampaian informasi ttg konselikepada keluarganya atau anggota profesi lain membutuhkan persetujuan konseli
4)      Penggunaan informasi ttg Konselidalam rangka konsultasi dgn anggota profesi yang sama atau yang lain dpt dibenarkan asalkan kepentingan konselidan tidak merugikan konseli.
5)      Keterangan mengenai informasi profesional hanya boleh diberikan kepada orang yang berwenang menafsirkan dan menggunakannya. 
b.    Testing 
Suatu jenis tes hanya diberikan oleh konselor yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya.
1)      Testing dilakukan bila diperlukan data yang lebih luas tentang sifat, atau ciri kepribadian subyek untuk kepentingan pelayanan
2)      Konselor wajib memberikan orientasi yg tepat pada konselidan orang tua mengenai alasan digunakannya tes, arti dan kegunaannya.
3)      Penggunaan satu jenis tes wajib mengikuti pedoman atau petunjuk yg berlaku bagi tes tersebut
4)      Data hasil testing wajib diintegrasikan dengan informasi lain baik dari konselimaupun sumber lain
5)      Hasil testing hanya dapat diberitahukan pada pihak lain sejauh ada hubungannya dgn usaha bantuan kepada konseli    
c.    Riset
1)      Dalam mempergunakan riset thdp manusia, wajib dihindari hal yang merugikan subyek
2)      Dalam melaporkan hasil riset, identitas konselisebagai subyek wajib dijaga kerahasiannya. 
2.    PROSES PELAYANAN 
a.    Hubungan dalam Pemberian Pelayanan
1)    Konselor wajib menangani konseliselama ada kesempatan dlm hubungan antara konselidgn konselor
2)    Konselisepenuhnya berhak mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai hasil konkrit
3)    Sebaliknya Konselor tidak akan melanjutkan hubungan bila konselitidak memperoleh manfaat dari hubungan tersebut.  
b.     Hubungan dengan Konseli
1)      Konselor wajib menghormati harkat, martabat, integritas dan keyakinan konseli.
2)      Konselor wajib menempatkan kepentingan konselinya diatas kepentingan pribadinya.
3)      Konselor tidak diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial tertentu.
4)      Konselor  tidak diperkenankan memaksa seseorang untuk memberi bantuan pada seseorang tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
5)      Konselor wajib memberi pelayanan kepada siapapun terlebih dalam keadaan darurat atau banyak orang menghendakinya.
6)      Konselor wajib memberikan pelayanan hingga tuntas sepanjang dikehendaki konseli.
7)      Konselor wajib menjelaskan kepada konseli sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing dalam hubungan profesional.
8)      Konselor wajib mengutamakan perhatian terhadap konseli.



BAB II
HUBUNGAN KONSELING

A.   KESEJAHTERAAN BAGI ORANG YANG DILAYANI KONSELOR
Konselor mendorong pertumbuhan dan perkembangan konseli dengan cara membantu kesejahteraan konseli dan memajukan pembentukan hubungan yang sehat. Konselor harus secara aktif untuk memahami perbedaan latar belakang budaya yang dimiliki konseli yang sedang dilayani. Konselor harus mengeksplorasi identitas budaya dan dampaknya terhadap nilai dan kepercayaan dalam proses konseling.
Konselor mendorong konseli untuk dapat berkontribusi pada masyarakat dengan mendedikasikan kemampuan yang dimilikinya. 
1.    TANGGUNG JAWAB KONSELOR
Tanggung jawab konselor adalah menghargai dan meningkatkan kesejahteraan konseli. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut maka konselor harus melaksanakan tanggung jawab sebagai berikut.
a.    Tanggung jawab Konselor terhadap Siswa
1)    Konselor memiliki kewajiban utama untuk memperlakukan siswa sebagai individu yang unik dengan sikap respek.
2)    Konselor secara penuh membantu konseli dalam mengembangkan  potensi atau kebutuhannya (baik yang terkait dengan personal, sosial, pendidikan, maupun vokasional); dan mendorong konseli untuk mencapai perkembangan yang optimal. 
3)    Menahan diri dari upaya menorong siswa untuk menerima nilai, gaya hidup, dan keyakinan yang menjadi orientasi pribadi konselor sendiri.
4)    Bertanggung jawab untuk memelihara hak-hak konseli.
5)    Memelihara kerahasiaan data konseli.
6)    Memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan konseli.

b.    Tanggung Jawab Terhadap Orang Tua
1)    Melakukan hubungan kerjasama (kolaborsi) dengan orang tua siswa dalam memfasilitasi perkembangan siswa secara optimal.
2)    Memberikan informasi kepada orang tua siswa tentang peranan konselor, terutama tentang hakikat hubungan konseling yang rahasia antara konselor dan konseli.
3)    Memberikan informasi yang akurat, komprehensif, dan relevan dengan tujuan.
4)    Melakukan sharing informasi tentang konseli.
 
c.    Tanggung jawab terhadap Kolega/Pihak Sekolah
1)    Membangun dan memelihara hubungan kooperatif dengan kepala sekolah, guru-guru, dan staf sekolah dalam rangka memfasilitasi pelaksanaan program layanan bimbingan dan konseling.
2)    Menerima masukan pendapat atau kritikan dari kepala sekolah, dan guru-guru sebagai dasar untuk mengembangkan atau memperbaiki program Bimbingan dan Konseling.

d.    Tanggung Jawab terhadap Dirinya Sendiri
1)    Menyadari bahwa karakteristik pribadinya memberikan dampak terhadap kualitas layanan konseling.
2)    Memiliki pemahaman terhadap batas-batas kompetensi yang dimilikinya, dan menerima tanggung jawab terhadap kegiatan yang dilakukannya.
3)    Berusaha secara terus menerus untuk mengembangkan kompetensi (wawasan pengetahuan, dan keahlian) profesionalitas, dan kualitas kepribadiannya.
e.    Tanggung Jawab Terhadap Organisasi Profesi
1)    Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya Konselor wajib mengaitkannya dengan tugas dan kewajibannya terhadap konseli dan profesi sesuai kode etik untuk kepentingan dan kebahagiaan konseli
2)    Konselor tidak dibenarkan menyalahgunakan jabatannya sebagai konselor untuk maksud mencari keuntungan pribadi atau maksud lain yang merugikan konseli, atau menerima komisi atau balas jasa dalam bentuk yang tidak wajar. 
BAB III
KERAHAASIAAN DALAM KOMUNIKASI DAN HAL-HAL YANG BERSIFAT PRIBADI

Konselor menyadari bahwa kepercayaan merupakan hal yang paling utama dalam hubungan konseling. Konselor berusaha mendapatkan kepercayaan konseli melalui hubungan konseling, menciptakan batasan dan keleluasan yang sepatutnya, hingga menjaga kerahasiaan. Konselor mengkomunikasikan tolok ukur kerahasiaan dengan cara yang baik dan bisa diterima oleh konseli.
1. Menghargai hak-hak konseli
a.    Kesadaran konselor akan keberagaman  atau hal yang bersifat multikultural.
b.    Menghargai hal-hal yang bersifat pribadi menyangkut kehidupan konseli.
c.    Menghargai kerahasiaan informasi mengenai konseli. Dalam hal ini konselor hanya berbagi informasi seizin konseli atau berdasarkan pertimbangan etis dan hukum.
d.    Menjelaskan berbagai keterbatasan kerahasiaan ataupun situasi-situasi tertentu yang menyebabkan kerahasiaan harus dibuka. Hal ini bisa dilakukan pada tahap pengenalan dalam proses konseling.

2.    Berbagi Informasi dengan pihak lain
a.    Pegawai Lembaga, dalam hal ini konselor harus memastikan keamanan dan kerahasian informasi mengenai data-data konseli yang diurus oleh pegawai lembaga, termasuk pegawai, mahasiwa, asisten dan tenaga sukarela.
b.    Team Konselor, jika penanganan konseli melibatkan sejumlah konselor dengan peranannya masing-masing, maka konseli terlebih dahulu diberitahukan mengenai hal tersebut dan informasi-informasi apa saja mengenai dirinya yang akan dibagi dalam tim tersebut.
c.    Pihak ketiga yang membiayai, konselor akan membagi informasi kepada pihak ketiga mengenai konseli jika konseli membuat perjanjian dengan pihak yang memiliki otoritas.
d.    Memindahkan informasi rahasia, konselor memperhatikan dan memastikan keamanan pemindahan data-data rahasia dengan  komputer melalui surat elektronik, mesin fax, telepon, dan perlengkapan teknologi komputer lainnya.

3.    Rekaman Data Konseling
a.    Kerahasiaan rekaman, terkait dengan proses dan tempat penyimpanan hingga orang-orang yang memiliki wewenang untuk rekaman tersebut.
b.    Izin untuk merekam, konselor meminta izin kepada konseli untuk merekam proses konseling dalam bentuk elektronik maupun bentuk lain.
c.    Izin untuk observasi, konselor meminta izin dari konseli dalam rangka observasi sesi konseling dalam lingkungan pelatihan, seperti meninjau hasil transkrip bersama peninjau dan fakultas.
d.    Rekaman bagi Konseli, konselor hanya memberikan salinan rekaman kepada konseli yang memang memerlukan. Konselor membatasi pemberian salinan rekaman atau sebagian salinan kepada konseli hanya jika isi rekaman tersebut akan mengganggu atau menyakiti perasaan konseli. Dalam situasi konseling yang melibatkan banyak konseli, maka konselor hanya memberikan salinan rekaman data yang menyangkut konseli yang memintanya dan tidak menyertakan salinan data yang menyangkut konseli lain.
e.    Bantuan dengan rekaman data, konselor memberikan bantuan kepada konseli dengan cara memberikan konsultasi dalam memaknai rekaman data.
f.     Membuka atau memindahkan rekaman, konselor meminta persetujuan tertulis  dari konseli untuk membuka atau memindahkan rekaman data kepada pihak ketiga yang memiliki wewenang.
g.    Penyimpanan dan pemutihan rekaman setelah konseling berakhir, jika konselor mengatur penyimpanan rekaman-rekaman data konseling dengan mengikuti tahapan pengakhiran agar memudahkan proses membuka data tersebut di masa yang akan datang ataupun jika rekaman tersebut akan dimusnahkan. Konselor memelihara data rekaman konseli dengan tetap menjaga kerahasiaannya.

4.    Penelitian dan pelatihan
a.    Persetujuan institusi atau lembaga, jika konselor akan menggunakan informasi-informasi mengenai konseli sebagai bagian dari perencanaan penelitian, maka konselor harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari institusi atau lembaga tempat konselor bekerja.
b.    Informasi rahasia yang diperlukan dalam penelitian, konselor menjaga kerahasiaan setiap rekaman data konseli dengan sebaik-baiknya jika penelitian yang akan dilakukan melibatkan banyak pihak.

5.    Konsultasi
a.    Perjanjian, jika konselor memberikan konsultasi terkait dengan permasalahan konseli dengan pihak lain, konselor membuat perjanjian dengan setiap individu-individu yang terlibat, dengan memberitahukan bahwa konselini memiliki hak untuk dijaga kerahasiaannya kepada setiap individu dan menjelaskan akibat-akibat yang mungkin terjadi jika kerahasian tersebut dibocorkan ke pihak lain..
b.    Menghargai hal-hal yang bersifat pribadi, konselor memberikan konsultasi ataupun mendiskusikan permasalahan konseli dengan tujuan professional hanya kepada pihak-pihak yang terkait, dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas konseli.
BAB IV
EVALUASI, ASESMEN DAN INTERPRETASI
Konselor menggunakan instrument asesmen sebagai salah satu komponen dari proses konseli dengan disesuaikan pada pribadi konseli dan budaya yang dimiliki. Konselor berusaha menciptakan kebermaknaan dari konseli atau kelompok konseli dengan membangun dan menggunakan instrument asesmen pendidikan, psikologi dan karir.

1.    Asesmen
Tujuan utama dari asesmen karir, psikologi dan pendidikan adalah untuk menyediakan pengukuran yang valid dan reliable, dalam rangka memperoleh data yang akurat mengenai konseli dan lingkungannya. Assesmen yang dilakukan tidak hanya terbatas pada: pengukuran bakat, kepribadian, minat, dan intelegensi. 

2.    Kesejahteraan konseli
Konselor tidak diperkenankan untuk menyalahgunakan hasil asesmen dan interpretasinya, dan konselor harus mencegah terjadinya penyalahgunaan. Konselor harus menghormati hak konseli untuk mengetahui hasil dan interpretasi yang dibuat, dan melihat keputusan dan rekomendasi yang dibuat konseli.
a.    Kompetensi dalam menggunakan dan menginterpretasi instrumen asesmen meliputi:
1)    Pemahaman terhadap keterbatasan kompetensi
2)    Pemahaman terhadap penggunaan hasil asesmen secara tepat 
3)    Pengambilan keputusan yang berbasis hasil asesmen
b.    Pemberian ijin memberi informasi dalam asesmen dilakukan dengan:
a.    Memberikan penjelasan kepada konseli
b.    Memberikan penjelasan kepada penerima hasil
BAB V
PELANGGARAN TERHADAP KODE ETIK

A.   Pendahuluan
Konselor wajib mengkaji secara sadar tingkah laku dan perbuatannya bahwa ia mentaati kode etik. Konselor wajib senantiasa mengingat bahwa setiap pelanggaran terhadap kode etik akan merugikan diri sendiri, konseli, lembaga dan pihak lain yg terkait. Pelanggaran terhadap kode etik akan mendapatkan sangsi yang mekanismenya menjadi tanggung jawab Dewan Pertimbangan Kode Etik ABKIN sebagaimana diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ABKIN, Bab X, Pasal 26 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
(1)  Pada organisasi tingkat nasional dan tingkat propinsi dibentuk DEWAN PERTIMBANGAN KODE ETIK BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA.
(2)  Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) mempunyai fungsi pokok:
a.    Menegakkan penghayatan dan pengalaman Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia.
b.    Memberikan pertimbangan kepada Pengurus Besar atau Pengurus Daerah ABKlN atau adanya perbuatan melanggar Kode Etik Bimbingan dan Konseling oleh Anggota setelah mengadakan penyelidikan yang seksama dan bertanggungjawab.
c.    Bertindak sebagai saksi di pengadilan dalam perkara berkaitan dengan profesi bimbingan dan konseling.
B.   Bentuk Pelanggaran
1.    Terhadap Konseli
a.    Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait dengan kepentingan konseli
b.    Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual, penistaan agama, rasialis).
c.    Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis) terhadap konseli.
d.    Kesalahan dalam melakukan pratik profesional (prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut).
2.    Terhadap Organisasi Profesi
a.    Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
b.    Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok).
3.    Terhadap Rekan Sejawat dan Profesi Lain Yang Terkait
a.    Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap arogan)
b.    Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai dengan masalah konseli.

C.   Sangsi Pelanggaran
Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan Konseling. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling maka kepadanya diberikan sangsi sebagai berikut.
1.    Memberikan teguran secara lisan dan tertulis
2.    Memberikan peringatan keras secara tertulis
3.    Pencabutan keanggotan ABKIN
4.    Pencabutan lisensi
5.    Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal maka akan diserahkan pada pihak yang berwenang.

D.   Mekanisme Penerapan Sangsi
Apabila terjadi pelanggaran seperti tercantum diatas maka mekanisme penerapan sangsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.    Mendapatkan pengaduan dan informasi dari konseli dan atau masyarakat
2.    Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik di tingkat daerah
3.    Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif  ringan maka penyelesaiannya dilakukan oleh dewan kode etik di tingkat daerah.
4.    Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi data yang disampaikan oleh konseli dan atau masyarakat.
5.    Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh dewan kode etik daerah terbukti kebenarannya maka diterapkan sangsi sesuai dengan masalahnya.